Saturday, August 15, 2015

Menjelajahi Novel Terbaik Indonesia

Aktivitas ini saya lakukan sejak bulan puasa lalu, ketika saya sudah kehabisan bahan drama korea untuk ditonton, beralihlah saya ke novel, sesuatu yang jarang saya sentuh kecuali jika ada sesuatu yang memotivasi saya. Berawal dari Bang Tere Liye yang akan berkunjung ke Gramedia Malang, saya membeli Rembulan Tenggelam di Wajahmu dan mendapatkan signature di cover dalam novel saya. Sudah lama saya tidak bertemu dengan tokoh besar dalam pernovelan Indonesia, hmm..tidak pernah malahan, hehe..

Lha koq ndilalah, Rembulan Tenggelam di Wajahmu itu kisahnya cocok dengan kebutuhan saya, move on…hahaha..kadang geli juga dengan perasaan ini, Alhamdulillah this book helped me a lot dalam hijrahnya hati. Kemudian saya share tentang buku ini ke teman saya, malah saya dapet rekomendasi novel lain untuk dibaca, malah dikasi artikel mengenai rangking 10 novel fiksi terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Salah satunya adalah Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer. Oke lah..saya belum pernah menjamah karya Eyang Pram sekalipun, tak ada salahnya menjelajahi pikiran Pram yang konon legendaris.

Hasil gambar untuk bumi manusia
Tetralogi Buru (taken from Google)

Malam sebelum hari raya, saya dapatkan pinjaman Bumi Manusia, novel pertama Tetralogi Buru, dan mulai membacanya selama liburan hari raya. I think this book really really great, awesome. Alus banget alurnya, detailnya, caranya bercerita, bisa banget membawa imajinasi saya ke jaman kolonial dulu. Pesan moralnya nangkep banget, dimana khas dari Eyang Pram adalah perjuangan atas ketertindasan dengan cara-cara yang luar biasa. Kadang saya berpikir, mungkin seharusnya begini cara asyik belajar sejarah, iya, sejarah kita. Bukan dari rangkuman di buku paket, LKS, tapi komunikasi dua arah (menurut saya novel bisa berarti komunikasi 2 arah karena imajinasi saya ikut terlibat dalam setiap kata untuk diwujudkan). Setelah itu, saya tergoda untuk membaca Tetralogi lainnya yang tersisa (Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca). Unfortunately susah banget cari buku ini di toko buku di Semarang, online pun juga mana ada yang buka saat libur hari raya. Akhirnya saya ke pasar buku di Semarang untuk mencari bajakannya (Oh God, I’m sorry terpaksa banget beli yang bajakan, maafkan Eyang Pram). Cari bajakannya pun juga ga gampang dan dari kesana kesini akhirnya komplit juga. Saya mulai membaca buku kedua dalam perjalanan ke Malang dan selesai buku keempat seminggu setelahnya. Tetralogi yang benar-benar luar biasa, walau agak melelahkan di bagian keempat karena diganti sudut pandangnya dengan Pangemanann. Kira2 saya sudah membaca 40% dari peringkat 10 novel fiksi terbaik.

Kemudian Ayu Utami, salah satu novelis terbaik Indonesia juga yang terkenal dengan dwiloginya, Saman dan Larung. Gaya berceritanya beda dengan Eyang Pram. Kita dibawa ke era 80-an dan 90-an dengan segalanya ada di sini. Kekerasan, cinta, politik, kemanusiaan, bahkan seksualitas. Saman, novel yang baru saya baca, membuat saya berpikir, apa saya bisa gila karena membaca buku? Entahlah, Saman ini novel yang luar biasa dengan gaya yang luar biasa pula. Saya tidak sabar menunggu Larung.

Penulis novel lainnya yang masuk dalam rangking 10 yang belum saya baca karyanya antara lain : Andrea Hirata, Mangunwijaya, Leila S.Chudori, Ahmad Tohari.

Saya merasa tiap buku membawa pesan moralnya sendiri. Tentang mana yang baik mana yang buruk. Tinggal bagaimana sisi manusia kita menanggapinya. Sebuah buku yang bagus juga seharusnya membawa perubahan untuk pribadi yang telah membacanya. Semakin banyak buku yang dibaca, semakin kaya pengetahuan kita, semakin kita terbuka cakrawala kita tentang dunia di seberang sana, tentang budayanya, tentang masanya. Entah kadang saya merasa sebuah buku bisa lebih berarti daripada kesenangan traveling namun tetap tiga dimensi kadang lebih baik daripada tanpa dimensi..hehe, bingung ya? Saya juga.

Semoga tahun ini, ah sebelum akhir tahun ini sebaiknya saya sudah membaca karya novelis terbaik lainnya itu. Terima kasih kepada Perpustakaan Kota Malang yang bersedia meminjamkan koleksinya kepada saya, sehingga saya bisa hemat budget untuk membeli buku. Saya akan benar-benar beli jika benar-benar saya ingin memilkinya dan jelas, harganya harus masuk akal. Terima kasih kepada Allah yang Maha Penyayang, memberi hamba kesempatan mendapatkan pencerahan lewat jalan ini, suatu cara yang indah. Terima kasih kepada diri sendiri, bertahanlah ragaku, terutama sepasang bola mataku..ini merupakan salah satu cara kita memberi makan kepada jiwa, pikiran, dan ruh. Mengapa diri ini selalu merasa lapar..adakah cara untuk berpuasa dari hal ini?


No comments:

Post a Comment