Monday, September 19, 2016

[Lirik Lagu] Lagu Rantau (Sambat Omah) – Silampukau



Waktu memang jahanam,
Kota kelewat kejam,
Dan pekerjaan menyita harapan.

Hari-hari berulang,
Diriku kian hilang.
Himpitan hutang. Tagihan awal bulan.

O, demi Tuhan, atau demi setan,
Sumpah aku ingin rumah untuk pulang!

Tujuh tahun yang lalu,
Impian membawaku ke Surabaya :
Berharap jadi kaya.

-hanya bermodal baju dan serratus ribu, nasib ini kuadu-

Tujuh tahun berlalu,
Impianku tersapu di Surabaya : gagal jadi kaya.

-kota menghisapku habis, tubuh makin tipis, dompetku kembang kempis-

O, demi Tuhan, atau demi setan,
Sumpah aku ingin rumah untuk pulang!

“Rindu menciptakan kampung halaman tanpa alasan.”

Burung pulang ke sarang, ketam diam di liang,
Dan di lautan ikan-ikan berenang.

O, demi Tuhan, atau demi setan,
Sumpah aku ingin rumah untuk pulang!

“Uang bawa ‘tualang sesat di jalan, menjauhi pulang.”

[Review Buku] Rumah Kopi Singa Tertawa Yusi Avianto Pareanom



Apa yang akan kau lakukan bila kau tahu kapan dan bagaimana kematianmu datang, dosa menggetok kepala anak buta memanggilmu, novelmu yang segera terbit tetapi bentuk tubuhmu memalukan, tetanggamu mengantarkan makanan yang tak pernah enak, orang yang kau benci dimutilasi, dan kau sendiri terkena penyakit yang mengundang tawa? Mungkin kau akan kena ombrophobia takut rintik hujan, pergi bersama anjing buruk rupa ke desa yang melarang warna disebut sehingga kau harus bilang yang mata anak haram janda ujung desa setelah kedatangan perampok dari Utara untuk biru kehijauan, atau bahkan membeli kulit sida-sida. Mungkin kau akan tertawa, menangis, dan tergoda ikut bersama Yusi Avianto Pareanom mengopyok berbagai khazanah kebudayaan dunia dan menjadikannya kegilaan baru. 

Hasil gambar untuk rumah kopi singa tertawa 
diambil dari google image

Ini adalah buku kumpulan cerpen pertama Om Yusi yang saya baca. Sebenernya pengen yang Raden Mandasia, tapi tak apalah, ini dulu yang dibaca, toh juga ada bagian yang bercerita tentang Raden Mandasia. Dari covernya sendiri sudah menarik, yaitu di sebuah café yang orang-orangnya memakai topeng dengan gayanya masing-masing (kecuali mbaknya yang lagi ngadep ke tablet). Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Banana yang gambarnya seorang lelaki mengangkat setundun pisang. 

Om Yusi ini adalah orang Semarang lhoh (yeayy, akhirnya baca juga karyanya orang Semarang!!!) jadi ga heran kalau beberapa ceritanya mengambil latar belakang kota Semarang. Ini merupakan suatu nilai plus untuk saya, karena lebih mudah memvisualisasikan dalam pikiran.

Sejak membaca cerita pertama, yaitu Cara-Cara Mati yang Kurang Aduhai, saya sudah dibuat tertawa oleh Om Yusi. Saya merasa gaya pemaparan Om Yusi sedikit banyak ada pengaruh dari gaya Semarangan, yang ceplas ceplos, lugas, jujur, dan apa adanya. Antar cerpen di buku ini sebenarnya tidak berkaitan (kecuali ada dua cerita tentang Raden Mandasia) dan tipikalnya tidak sama, baik itu endingnya, kadang penulisannya. Sebut saja Rumah Kopi Singa Tertawa yang menyajikan percapakan beberapa meja secara acak. Kemudian Dua Kisah Pendek tentang Punakawan, dimana Anda hanya akan menemukan dua tanda baca titik disana. Ending masing-masing cerpen ada yang membuat tertawa, bengong, masygul, geregeten, dsb, jadi saran saya, nikmati saja ceritanya. 

Favorit saya adalah Rumah Kopi Singa Tertawa, karena randomnya percapakan meja tersebut, dan menurut saya ini sebagai contoh lingkungan kecil bagaimana obrolan orang itu mencerminkan karakter dan permasalahan mereka masing-masing. Jelas saya menyukai gaya Om Yusi bercerita, feels like home. Saya memberi empat bintang untuk buku ini.

Tuesday, September 13, 2016

[Review Buku] Milea, Suara dari Dilan - Pidi Baiq



Milea, Suara dari Dilan adalah buku ketiga dari rangkaian buku Pidi Baiq, yang pertama Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1990, dan kedua Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1991. Jujur, saya hanya membaca buku pertama dan ketiga ini, dengan melewatkan buku kedua. Jadi maafkan jika review ini kurang gimana gitu ya, cmiiw pls. Saya pribadi berterima kasih kepada kak Tez yang sudah baik hati meminjamkan bukunya (yang baru kebeli tapi belum dibaca) dan sebagai tanda terima kasih saya menulis review ini spesial for kak Tez.




Yang menarik dari Milea ini adalah buku ini dibuat berdasarkan keterangan dari Dilan, jadi kita akan disajikan cerita dari sudut pandang lelaki (yeay!!! Saya jatuh cinta dengan Dilan di buku pertama dan saya berharap bisa explore doi lebih jauh). Novel ini dimaksudkan untuk bisa menjadi pelajaran buat mereka yang baca, bukan hanya sekedar soal asmara.

Milea, Suara dari Dilan dimulai dengan menceritakan Dilan sejak kecil dan bagaimana Dilan tumbuh dan dididik dalam keluarga yang baik dan menyenangkan.

Kalau ada anaknya yang cemberut disebabkan karena ngambek oleh masalah yang sepele, biasanya dia akan datang untuk duduk di sampingnya dan aku masih ingat dia pernah bicara :
“Tak ada yang selesai dengan menangis,” katanya.
“Aku gak nangis,” kujawab.
“Gak nangis, koq, ada air matanya?”
“Gak tau,” kataku langsung telungkup di atas sofa, sambil menghapus air mataku diam-diam. Kalau gak salah aku masih TK waktu itu.
“Bunda! Air mata siapa di pipi Dilan?” Ayah nanya ke Bunda dengan agak teriak karena si Bundanya sedang ada di ruang tengah. “Gak boleh nitip-nitip gini.”
“Air matanya, laaahh!” jawab Bunda
“Bukan katanya,” jawab Ayah.
“Diaaaamm!” kataku sambil terus telungkup.

Kemudian cerita berlanjut ke masa remaja Dilan. Seperti remaja pada umumnya, Dilan mempunyai teman-teman kental yaitu Piyan, Anhar, Burhan, Ivan, dan Akew. Saya seperti mengingat masa SMA saya, memang untuk cowo-cowo yang punya banyak teman (baca : punya kelompok teman, atau geng) pasti punya tempat tongkrongan, tidak beda dengan Dilan dkk yang suka nongkrong di warung Bi Eem, atau di warung kopi Kang Ewok. Sebelum bertemu dengan Milea, Susi lah yang pertama kali naksir Dilan, tapi Dilannya ga suka sama doi :p Ini juga diceritain di buku pertama yang Dilan sampai ngumpet di lemari pas disamperin Susi di rumahnya, hahaha. Dilan tahu Milea dari obrolan temennya yang heboh karena ada cewe pindahan dari Jakarta. 

Waktu itu, aku setuju dengan yang lain bahwa Milea Adnan Hussain itu cantik, dan aku percaya ada hal indah lagi dari apa yang bisa kulihat selain dari rambutnya yang panjang dan tebal pirang alami. Sejauh yang aku tahu, dia selalu menampakkan dirinya dalam cara yang baik, bahkan ketika sedang makan kupat tahu gak enak di kantin sekolah.

Akhirnya tanggal 22 Desember 1990 Dilan dan Milea resmi berpacaran. Sejauh yang saya baca, ternyata Dilan juga seperti lelaki pada umumnya, logis, rasional, dan kadang egois (wah saya ga judging cowo seperti itu loh ya, piss). Bahwa dalam berpacaran ada suka dukanya, ada cemburunya, ada marah-marahannya, ya normal sih, semua juga begitu kali ya. Hanya Dilan, dengan karakternya, dia bisa membawa suasana lebih ceria karena sense of humor-nya dan tingkahnya yang kadang out of the box (dan pasti kamu bakal jatuh cinta). Konflik mulai muncul ketika kepentingan geng motor bentrok dengan Dilan-Milea, antara persahabatan dan cinta. 

Yang membedakan dengan buku pertama, di sini lumayan banyak diceritakan Dilan pasca SMA bahkan hingga reuni. Menurut saya, hal itu menarik karena mempresentasikan apa yang ada di pikiran Dilan.

Jauh
Apakah kamu rindu?
Aku di sini, Dilan.
Jauh. Jauh.
(Milea Adnan Hussain, 1991)

Apa yang Pidi Baiq inginkan agar pembaca dapat mengambil pelajaran dari buku ini, saya rasa berhasil. Romantisme dan gentle-nya Dilan dalam memperlakukan wanita jelas membuat Milea tak akan melupakannya seumur hidup (apalagi saya, hahaha). Guys, you have to learn from Dilan. Tapi Dilan juga hanyalah manusia biasa, di akhir buku, kalian akan menemukan sesuatu yang benar-benar bisa diambil pelajaran (I mean it). Saya jamin kalian ga akan rugi membaca Milea, Suara dari Dilan. Ringan, tapi bermakna. Saya memberi empat bintang untuk novel ini.