Friday, August 19, 2016

[Review Buku] Norwegian Wood Harumi Murakami


Ketika ia mendengar Norwegian Wood karya Beatles, Toru Watanabe terkenang akan Naoko, gadis cinta pertamanya, yang kebetulan juga kekasih mendiang sahabat karibnya, Kizuki. Serta merta ia merasa terlempar ke masa-masa kuliah di Tokyo, hamper 20 tahun silam, terhanyut dalam dunia pertemanan yang serba pelik, seks bebas, nafsu-nafsu dan rasa hampa – hingga ke masa seorang gadis badung, Midori, memasuki kehidupannya, sehingga ia harus memilih antara masa depan dan masa silam.

Hasil gambar untuk novel norwegian wood 
diambil dari google

Tidak ada alasan khusus mengapa saya tertarik kepada novel Murakami ini selain karena review teman-teman yang melebihi empat bintang. Murakami memang halus dalam menuliskan kisah Watanabe, mengalir seperti air walaupun ada juga yang tidak terduga. Setiap perkataan dan apa yang dipikirkan Watanabe terasa nyata. Jujur, ini pertama kalinya saya membaca sastra Jepang. Saya jadi bisa belajar tentang pendidikan di Jepang, pola pikir masyarakat dan budayanya (tentunya bisa dicontoh hal-hal yang baik saja). 

Setiap karakter tokoh di novel ini mempunyai keunikannya tersendiri. Sebenarnya semua tokoh disini adalah orang yang aneh. Contohnya Nagasawa-san, yang tidak pernah mau mengambil buku karya pengarang yang belum 30 tahun meninggal dunia. Sekalipun begitu, tidak mengurangi aura kesedihan dan kesepian yang memilukan. Saya kurang paham mengapa orang Jepang (mudah) berpikiran untuk mengakhiri hidupnya, memaksa orang-orang belajar tentang kematian. 

“Kebenaran seperti apapun, tidak mungkin bisa menyembuhkan kepedihan seseorang yang ditinggal mati kekasihnya. Kebenaran seperti apapun, ketulusan seperti apapun, kekuatan seperti apapun, kelembutan seperti apapun, tidak bisa menyembuhkan kepedihan itu. Kita hanya bisa merasakan kepedihan itu sedalam-dalamnya, dan dari situ kita mempelajari sesuatu dan sesuatu yang kita pelajari itu pun menjadi percuma di saat kita menghadapi kesedihan yang sekonyong-konyong muncul.”

Karakter favorit saya tentu Watanabe (siapa pula yang benci dengan tokoh utama). Jujur, lugas, cuek, lurus. Kemudian Reiko-san yang -untung ada dia di sana- dewasa mampu menenangkan orang-orang disekitarnya, walaupun sebenarnya dia miring juga. People are strange when you’re a stranger. Kadang saat membaca, saya jadi bertanya kepada diri sendiri apa saya juga miring ya? Bagian yang saya suka adalah surat menyurat dari Watanabe (kelak aku ingin mencoba surat menyurat seperti orang-orang jaman dahulu). Menurutku itu hal yang bagus untuk dilakukan, menulis dan saling memberi kabar.  

Saya suka ending dari Norwegian Wood, pas dengan pesan dari penulis. Hampir tidak ada yang saya tidak suka, hanya saja penasaran dengan Kopasgat yang tiba-tiba menghilang. Akhirnya novel yang setebal novel Harry Potter ini sukses membuat saya merasa tiba-tiba kesepian entah kenapa, mungkin terlarut dalam ketenangan yang menghanyutkan lebay. Saya memberi lima bintang untuk Noruwei no Mori karya Murakami.

2 comments:

  1. Wah sampai meresapi isi buku nih kak, bakal jadi penulis favorit?

    ReplyDelete