Thursday, August 18, 2016

[Review Buku] Burung-Burung Manyar YB Mangunwijaya



 Burung-burung Manyar adalah novel pertama Romo Mangun yang saya baca. Agak surprise rupanya saya membaca karyanya Romo, karena meskipun berlatar belakang revolusi kemerdekaan Indonesia yang isinya perang melulu, tapi Romo bisa memberikan humor yang segar di dalamnya. Novel setebal 260 halaman ini tidak seperti novel pada umumnya. Novel ini terdiri dari bagian awal yaitu Prawayang, kemudian dibagi menjadi tiga bagian : 1934 – 1944, 1945 - 1950, dan 1968 – 1978.

Hasil gambar untuk burung-burung manyar 
diambil dari google

Novel ini mengisahkan Setadewa, yang akrab dipanggil Teto, seorang anak dari Brajabasuki, letnan KNIL yang juga Raden Mas dari Keraton Mangkunegara dengan seorang wanita berdarah Belanda Mince, dalam menghadapi perang revolusi di Indonesia. Tidak seperti kisah perjuangan pada umumnya, di sini kita disuguhkan sudut pandang yang lain, yaitu dari KNIL, pihak musuh Indonesia. Teto memutuskan untuk menjadi KNIL karena dendamnya kepada Jepang yang menjadikan Mamanya sebagai gundik Jepang.

Di sisi lain, Teto jatuh hati kepada Atik, si Prenjak, teman Teto sejak kecil, yang saat dewasa menjadi sekretaris Sutan Syahrir, diplomat ulung andalan Indonesia. Kondisi yang berbeda antara Teto dan Atik inilah yang membuat cerita menjadi semakin menarik. Tokoh favorit saya tentu saja si Atik. Mungkin agak susah menemukan wanita cerdas dan kuat prinsipnya pada jaman revolusi. Namun Atik tahu apa yang mau dan akan dia lakukan, pandai pula menempatkan diri. Ada beberapa bagian cerita mengenai Setankopor dan Karjo membuat saya agak bingung karena tidak terlalu berpengaruh terhadap cerita utama. 

Hal lain yang menarik dari novel ini adalah kita tidak hanya disuguhi cerita roman namun juga cerita tentang alam, terutama berbagai jenis burung dan perilakunya. Awalnya saya kurang memperhatikan karena saya kurang tertarik dengan burung, tapi penjelasan Atik mengenai citra dan jatidiri (Innerlichkeit) ketika pengukuhan sebagai doctor betul-betul membuat saya terhenyak. Bagian-bagian lucu ditampilkan Romo Mangun sebagai ekspresi Teto yang dikatakan dalam hati, seperti mati aku! Nah ini! atau dari percakapan pendek antar tokohnya. 

Walaupun ditulis pada tahun 1979, saya merasa novel ini dekat dengan kehidupan sekitar (mungkin karena mengambil latar di Magelang) jadi menyenangkan untuk divisualisasikan dalam pikiran (ah betapa menyenangkan bila kita bisa seperti Atik dan ayahnya, berjalan-jalan di alam terbuka, mengamati burung-burung, menirukan suara mereka). Pesan-pesan Romo begitu jelas namun tidak terkesan menggurui, yaitu agar kita bisa melihat sesuatu dengan jernih, untuk bisa menemukan makna kehidupan kita sendiri. Saya memberi lima bintang untuk Burung-Burung Manyar.






2 comments: