Friday, November 11, 2016

Pemakaman



Akhir pekan telah tiba, saatnya aku bermalas-malasan dengan menghabiskan malam dengan hiburan-hiburan seperti film maupun musik, atau buku. Seringnya hal terakhir yang aku sebut itu lebih tepat untuk membuatku tertidur dengan cepat daripada membuat terjaga hingga pagi. Malam larut ini kuhabiskan dengan menonton Norwegian Wood yang diadaptasi dari novel Harumi Murakami yang telah kubaca beberapa waktu lalu. Film padat dengan durasi dua jam lebih yang menyajikan setting Jepang tahun 60-an. Jam satu dini hari aku tertidur, berharap bangun siang esoknya.

Sial, alarm 04:30 ini kencang sekali suaranya. Aku mengutuk kebodohan pemilik smartphone yang menyeting alarm di hari Sabtu. Aku mematikan alarm sekalian mengecek pesan di handphone. Ada pesan whatsapp dari teman kantor tentang ibunya yang meninggal dini hari. Kubaca berkali-kali memastikan bahwa aku sendiri cukup sadar dan terjaga untuk membaca pesan tersebut. Lamat-lamat aku ingat obrolan di bus karyawan kemarin ketika Rini langsung menuju rumah sakit untuk jaga. Ibunya masuk rumah sakit lagi. Aku meneruskan pesan itu ke grup teman kantor kemudian meneruskan tidur. Tiga jam tentu saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan waktu istirahatku. Sementara pikiranku melayang ke masa lalu, mengenang kesedihan akan kehilangan.

-------

Rini sudah beberapa hari tidak masuk kerja. Ternyata dia mengurus ibunya yang sakit di rumah sakit. Pekerjaan Rini yang aku anggap vital, karena mengurus gaji orang-orang, agak terbengkalai. Hei, apapula pekerjaan itu, kamu harus mementingkan keluargamu bukan? Aku bersama beberapa teman kantor menjenguk ibunya di rumah sakit. Kami magriban dulu sebelum menuju kamar ibunya. Kami menjumpai Rini yang tangisnya pecah ketika kami satu persatu memeluknya, menguatkannya. Ibunya semalam masuk ke ICU karena tak sadarkan diri. Ingatanku tentang Bapak seakan kembali melihat Rini menangis. Dia anak pertama, sama sepertiku, hanya saja dia sudah menikah dan mempunyai seorang putri yang cantik. Kami sama-sama mempunyai adik lelaki, yang lagi-lagi perbedaannya adalah adiknya sudah menikah dan memiliki putra kembar. Rini masih beruntung, pikirku. 

Dua hari kemudian, Pak Bos mengajakku menemaninya menjenguk ibunya RIni. Alhamdulillah, beliau sudah keluar dari ICU dan berada di kamar VIP yang menurutku fasilitasnya sangat bagus. Tentu saja, aku memilih sehat daripada sakit walau dirawat di kamar bagaikan hotel bintang lima sekalipun. Aku melihat kondisi ibunya Rini, sungguh berbeda dengan beberapa tahun yang lalu ketika beliau masih sehat, segar, dan awet muda. Kali ini kondisi beliau semakin kurus, lemah, bahkan untuk memegang sesuatu beliau membutuhkan bantuan orang lain. Anak-anak, menantu, cucu, dan suaminya bergantian menjaganya di rumah sakit. 

Beberapa hari kemudian Rini sudah masuk kerja. Belakangan kondisi ibunya sudah membaik dan keluar dari rumah sakit.

---------

Sekitar jam 6 aku mencari teman untuk melayat bersama. But I always end up alone. Susah sekali mengandalkan orang lain, lebih baik dilakukan sendiri. Jam 8 aku ke rumah Rini. Sebuah tenda tanpa hiasan terpasang tepat di depan rumah Rini. Ada beberapa orang duduk di baris kursi yang mepet dengan tembok dinding tetangga. Aku bersalaman dengan bapak-bapak teman kantorku dan langsung mengarahkanku untuk masuk ke dalam rumah, karena juga ada teman kantor wanita yang sudah di dalam. Saya disambut dengan pemandangan jenazah yang melintang di tengah ruang tamu. Tamu wanita dan kerabat keluarga duduk merapat ke dinding ruang tamu. Aku memeluk Rini yang memakai gamis gelap dan mengucap bela sungkawa. Rini menangis, dan memintakan maaf jika almarhumah ada salah. Aku hanya bisa bilang, “Yang tabah ya.” Aku tak berani bilang macam-macam karena selain Rini lebih tua daripada aku, jika aku berada di posisinya sekarang, aku tak ingin banyak diceramahi. 

Aku memandang sekeliling. Ada beberapa wanita berpakaian seragam guru, ada beberapa yang berpakaian hitam termasuk teman kantorku. Aku mendengarkan obrolan Rini dengan tamunya. Aku kembali melihat sekeliling. Hanya ada beberapa yang berdoa mendekati jenazah. Aku menanyakan nama almarhumah ke Rini, dan membacakan beberapa doa dan surat di Al Quran, berharap akan sampai kepada yang bersangkutan. Sesaat setelah selesai membacakan doa, beberapa lelaki meminta kerabat wanita untuk mengikat kafan jenazah. Pandanganku terhalang orang-orang yang mengelilingi jenazah. Kemudian jenazah dibawa ke masjid untuk disholati. Umumnya pemakaman di kota asalku dilakukan setelah dhuhur, di sini agak berbeda, lebih cepat lebih baik. Jadi aku menunggu hingga pemakaman selesai. Setelah dilihat lagi, tidak ada papan informasi tentang identitas jenazah di sekitar rumah. Kami duduk di luar sambil menunggu jenazah selesai disholati. Jarak rumah Rini dengan pemakaman dan masjid hampir sama jauhnya, yaitu sekitar 50 meter sehingga kami tidak repot-repot mengikuti prosesi acaranya. 

Ada beberapa perbedaan yang aku lihat dibandingkan dengan pemakaman Bapak. Kami sekeluarga dulu diberi kesempatan terakhir untuk melihat jenazah sebelum diangkat dan disholatkan. Aku masih ingat, aku berbisik mohon maaf kepada Bapak. Sebuah permintaan maaf yang terlambat. Ibuku yang menatap nanar dengan matanya merah sembab dengan suara serak bergetar dan adikku yang aku lupa dimana dia waktu itu, mungkin sedang di luar membantu pemberangkatan jenazah. Ada sambutan ketua RW, RT, dan perwakilan keluarga sebelum jenazah diberangkatkan. Ibuku meraung hampir pingsan ketika jenazah dibawa pergi. Setengah mati aku menahan tangis sambil menahan, membimbing Ibu untuk tetap sadar waktu itu. Terlalu banyak menangis bisa membuat kalian pusing, selain mata dan hidung perih, percayalah, itulah yang kami rasakan. 

Kami ikut mengiringi jenazah ke makam. Aku baru tahu bahwa ada urutan untuk proses penguburan. Setelah liang digali, jenazah diangkat dan dimasukkan ke liang lahat, dengan tiga orang bersiap di dalamnya. Jenazah dimiringkan dengan diganjal (aku tidak tahu persis) dengan beberapa bulatan tanah. Kemudian ditutup dengan kayu dan tikar, baru dipenuhi dengan tanah kembali. Jenazah diadzani sebelum ditutup dengan tikar/ kayu. Setelah semuanya selesai, seorang imam memimpin doa untuk jenazah. Hei, saya perlu belajar tentang ini, atau bukan hanya aku saja, kita semua perlu belajar tentang ini. Ketika aku tanya hal ini ke temanku sore harinya, dia bilang dia pernah diajari prosesi ini pas SMA. Aku tak ingat sama sekali.

Aku melihat dari jauh Rini mengelus punggung adiknya yang menangis, saling menguatkan. Aku dulu tak ikut ke pemakaman Bapak, karena kondisi Ibuku yang seperti itu. Satu hal yang aku sesalkan ketika pemakaman almarhumah ibu Rini adalah adanya suara musik dangdut yang volumenya seperti layaknya ada orang punya hajat. Padahal tadi sudah ada pengumuman dari masjid jika ada yang meninggal, mungkin orang punya hajat itu tak memperhatikan. Sebuah pemandangan yang aneh, orang-orang di makam mengangkat tangannya untuk berdoa dengan latar suara dangdutan. 

Satu persatu orang kembali ke rumah Rini. Aku bersama teman kantor masih mengiringi Rini dalam perjalanan pulang ke rumah, untuk kemudian pamit. Rasa kehilangan itu baru terasa setelah meninggalkan pemakaman. Apalagi ketika hari menjelang malam, terasa sekali betapa ada yang hilang di sekitar kita, di dalam diri kita. Lebih-lebih esoknya ketika hari tak lagi seperti biasanya. Bagusnya cara Jawa, yang ditinggalkan akan disibukkan dengan acara tujuh harian. Tapi itu juga tak akan membantu menghilangkan kesedihan, hanya menyamarkan saja. Yang penting bagi yang hidup adalah keputusan diri sendiri untuk menerima dan melanjutkan waktu yang tersisa dengan sebaik-baiknya. Melalui kehilangan, Tuhan mengingatkan kita. Melalui kehilangan, kita belajar banyak hal.

No comments:

Post a Comment