Friday, October 10, 2014

Hidup dengan Makna

Di pikiran saya, masing2 tingkat usia itu ada masanya : umur 20-an untuk kerja keras dan menemukan pasangan hidup, umur 30-an kerja yang ga terlalu keras dan sudah memiliki keluarga kecil, umur 40-an kerja yang agak berkurang dan anak2 sudah beranjak dewasa, umur 50-an menikmati masa tua dan melihat anak2 menikah, umu 60-an sudah siap untuk ajal menjemput. Beberapa hal di atas berkaca dari kehidupan orang tua saya.

Di usia saya sekarang, adalah masa untuk kerja keras dan menemukan pasangan hidup. Kerja keras sudah saya lakukan sejak kecil dalam hal membantu usaha bapak ibu, dan secara resmi sudah 3 tahun lebih bekerja di perusahaan swasta, alhamdulillah penghasilan yang didapatkan bisa untuk menanggung biaya hidup sendiri dan bantu2 orang tua. Insya Allah untuk hal yang kedua bisa diwujudkan beberapa saat lagi.

Sejak kuliah saya dikenalkan oleh hal-hal yang bisa dibilang "pencarian jati diri" dengan memaknai hal-hal yang universal. Saya mengenal senior saya, Mas Iu, dan dari beliau saya mengenal meditasi, aura, energi di sekitar kita, dan hal-hal yang menyangkut humanity, psikologi, dsb disamping ilmu tekim dan jurnalistik. Orang jaman dulu itu lebih hebat, menurut saya. Sejak awal kebudayaan, when there was no technology, mereka explore apa yang ada di sekitar mereka, bahkan apa yang ada di dalam diri mereka. Itu semua menurut saya cukup untuk bekal dalam memaknai hidup. Dan sekarang, di era teknologi, serba mudah dan cepat, namun rasanya hambar...dangkal..it's easier to live but..yahh...gitu deh...punya dampak positif dan negatif, kita harus pandai menyikapinya. 

Tadi pagi saya membaca artikel, tentang seorang pria bernama Timur Sinar Suprabana yang membeli intip dari seorang nenek yang sudah sepuh dan sudah puluhan tahun menjual intip. 

"intip menika reginipun pinten, bu? (berapa harga intip ini, bu?)" tanyaku. 
"nem ewu, ndara... (enam ribu, tuan...)" jawab perempuan sepuh itu. 
"kula tumbas setunggal mawon nggih... pikantuk ta... (saya beli satu saja ya... boleh kan?)" ujar saya dalam nada tanya. 
ia terkekeh sebelum kemudian menjawab, "lho... nggih pikantuk, ndara... lha wong nyuwun mawon kula paringi... menapa malih kok tumbas... alhamdulillah... (lho... ya boleh, tuan... kalau pun misalnya memintapun saya beri... apa lagi kok sampai beli... alhamdulillah...)." jawaban perempuan sepuh itu, 
entah bagaimana mulanya, membikinku mbrabak. 
saya pun membeli satu bungkus intip goreng manis. saya keluarkan selembar limapuluhan ribu rupiah. ia memandang uang itu, sedetik-dua..., sebelum kemudian memandangku selama lebih dari tiga detik sebelum akhirnya berkata lirih, "arta alit kemawon... wonten, ndara... (uang kecil saja... ada, tuan?)." saya tersenyum mengangguk. saya ambil selembar limaribuan dan selembar duaribuan... ia terima... ia ambil selembar seribuan dan disorongkan ke saya sambil berkata, "maturnuwun, ndara... (terimakasih, tuan...)." saya mengangguk. "samisami, mbah... (samasama, mbah...)," jawab saya. 
Ia memasukkan selembar limaribuan dan selembar duaribuan ke dompet plastik warna coklat yang gigi resluitingnya tampak rompal di banyak bagian. saya angsurkan lembaran limapuluh ribu yang tadi saya hendak bayarkan namun ia minta uang kecil saja. "mbah... arta menika panjenengan lebetaken mriku sepindah... (mbah... uang ini panjenengan masukkan ke situ sekalian...)," kata saya sambil meletakkan selembar limapuluhan ribu rupiah itu. "lho... kala wau kan sampun mbayar, ndara... (lho... tadi kan sudah membayar, tuan...)," katanya. saya tertawa. berkata, "nggih... panci sampun... arta menika kagem panjenengan, mbah... (ya... memang sudah... uang ini untuk panjenengan, mbah...)." ia terkekeh lagi. gembira. "maturnuwun... maturnuwun... maturnuwun, ndara... rejeki... (terimakasih... terimakasih... terimakasih, tuan... rejeki)," katanya. dan, tibatiba, ia berteriak sembari melambai ke arah seorang perempuan lain yang berumur lebih muda darinya, "jaaaah.... jaaaaah.... renea... (jaaaaah.... jaaaaaah... kemarilah...)." yang dipanggil, penjual panganan kering, bangkit dari duduknya. meninggalkan dunak berisi dagangannya. mendekat. bertanya, "ana apa, mbah... (ada apa, mbah...)". dengan riang simbah berkata sambil mengangsurkan selembar limaribuan, yang ia ambil dari dompet plastik warna coklat itu, ke perempuan yang ia panggil dan berkata sembari menunjuk saya, "iki lho... tak wenehi bagian... rejekimu... saka ndara iki... (ini lho... kuberi bagian... rejekimu... dari tuan ini...)." 

Melihat adegan itu saya menunduk... saya sampai tak bisa mendengar jelas apa yang dikatakan perempuan yang dipanggil 'jah' itu saat ikut mengucapkan terimakasih pada saya. "alangkah Luhur pekerti perempuan sepuh itu... alangkah luhur..." bisik hatiku. sungguh Jarang orang yang sanggup Berbagi secara Spontan sebagai tanda syukur atas apa yang ia baru saja terima. sungguh Jarang....

Membaca percakapan di atas, tak terasa air mata pun menetes. Saya malu pada diri saya sendiri, entah kenapa. Mungkin ada menyentuh kalbu saya, mengingatkan saya sekali lagi bahwa hidup bukan sekedar.....tapi hiduplah dengan makna. Dan tidak selalu mencari makna itu harus dengan hal-hal mewah tapi sekali lagi lihat sekeliling lingkungan Anda. Mungkin ada yang terlewatkan....

#Mengenang Mbah Sulastri 02.10.14
Semoga amal ibadah beliau diterima di sisi-Nya#

No comments:

Post a Comment