Ketika ia mendengar Norwegian Wood karya
Beatles, Toru Watanabe terkenang akan Naoko, gadis cinta pertamanya, yang
kebetulan juga kekasih mendiang sahabat karibnya, Kizuki. Serta merta ia merasa
terlempar ke masa-masa kuliah di Tokyo, hamper 20 tahun silam, terhanyut dalam
dunia pertemanan yang serba pelik, seks bebas, nafsu-nafsu dan rasa hampa –
hingga ke masa seorang gadis badung, Midori, memasuki kehidupannya, sehingga ia
harus memilih antara masa depan dan masa silam.
diambil dari google
Tidak ada alasan khusus mengapa saya tertarik
kepada novel Murakami ini selain karena review teman-teman yang melebihi empat
bintang. Murakami memang halus dalam menuliskan kisah Watanabe, mengalir
seperti air walaupun ada juga yang tidak terduga. Setiap perkataan dan apa yang
dipikirkan Watanabe terasa nyata. Jujur, ini pertama kalinya saya membaca
sastra Jepang. Saya jadi bisa belajar tentang pendidikan di Jepang, pola pikir
masyarakat dan budayanya (tentunya bisa dicontoh hal-hal yang baik saja).
Setiap karakter tokoh di novel ini mempunyai
keunikannya tersendiri. Sebenarnya semua tokoh disini adalah orang yang aneh. Contohnya
Nagasawa-san, yang tidak pernah mau mengambil buku karya pengarang yang belum
30 tahun meninggal dunia. Sekalipun begitu, tidak mengurangi aura kesedihan dan
kesepian yang memilukan. Saya kurang paham mengapa orang Jepang (mudah)
berpikiran untuk mengakhiri hidupnya, memaksa orang-orang belajar tentang
kematian.
“Kebenaran seperti apapun, tidak mungkin bisa
menyembuhkan kepedihan seseorang yang ditinggal mati kekasihnya. Kebenaran seperti
apapun, ketulusan seperti apapun, kekuatan seperti apapun, kelembutan seperti
apapun, tidak bisa menyembuhkan kepedihan itu. Kita hanya bisa merasakan
kepedihan itu sedalam-dalamnya, dan dari situ kita mempelajari sesuatu dan
sesuatu yang kita pelajari itu pun menjadi percuma di saat kita menghadapi
kesedihan yang sekonyong-konyong muncul.”
Karakter favorit saya tentu Watanabe (siapa
pula yang benci dengan tokoh utama). Jujur, lugas, cuek, lurus. Kemudian Reiko-san
yang -untung ada dia di sana- dewasa
mampu menenangkan orang-orang disekitarnya, walaupun sebenarnya dia miring juga.
People are strange when you’re a stranger.
Kadang saat membaca, saya jadi bertanya kepada diri sendiri apa saya juga
miring ya? Bagian yang saya suka adalah surat menyurat dari Watanabe (kelak aku
ingin mencoba surat menyurat seperti orang-orang jaman dahulu). Menurutku itu
hal yang bagus untuk dilakukan, menulis dan saling memberi kabar.
Saya suka ending dari Norwegian Wood, pas
dengan pesan dari penulis. Hampir tidak ada yang saya tidak suka, hanya saja
penasaran dengan Kopasgat yang tiba-tiba menghilang. Akhirnya novel yang
setebal novel Harry Potter ini sukses membuat saya merasa tiba-tiba kesepian
entah kenapa, mungkin terlarut dalam ketenangan yang menghanyutkan lebay.
Saya memberi lima bintang untuk Noruwei no Mori karya Murakami.
Wah sampai meresapi isi buku nih kak, bakal jadi penulis favorit?
ReplyDeleteinsyaAllah kak tez, bagus koq doi
Delete