Burung-burung Manyar adalah novel pertama Romo
Mangun yang saya baca. Agak surprise rupanya saya membaca karyanya Romo, karena
meskipun berlatar belakang revolusi kemerdekaan Indonesia yang isinya perang
melulu, tapi Romo bisa memberikan humor yang segar di dalamnya. Novel setebal
260 halaman ini tidak seperti novel pada umumnya. Novel ini terdiri dari bagian
awal yaitu Prawayang, kemudian dibagi menjadi tiga bagian : 1934 – 1944, 1945 -
1950, dan 1968 – 1978.
diambil dari google
Novel ini mengisahkan Setadewa, yang akrab
dipanggil Teto, seorang anak dari Brajabasuki, letnan KNIL yang juga Raden Mas
dari Keraton Mangkunegara dengan seorang wanita berdarah Belanda Mince, dalam
menghadapi perang revolusi di Indonesia. Tidak seperti kisah perjuangan pada
umumnya, di sini kita disuguhkan sudut pandang yang lain, yaitu dari KNIL, pihak
musuh Indonesia. Teto memutuskan untuk menjadi KNIL karena dendamnya kepada Jepang
yang menjadikan Mamanya sebagai gundik Jepang.
Di sisi lain, Teto jatuh hati kepada Atik, si
Prenjak, teman Teto sejak kecil, yang saat dewasa menjadi sekretaris Sutan
Syahrir, diplomat ulung andalan Indonesia. Kondisi yang berbeda antara Teto dan
Atik inilah yang membuat cerita menjadi semakin menarik. Tokoh favorit saya
tentu saja si Atik. Mungkin agak susah menemukan wanita cerdas dan kuat
prinsipnya pada jaman revolusi. Namun Atik tahu apa yang mau dan akan dia
lakukan, pandai pula menempatkan diri. Ada beberapa bagian cerita mengenai
Setankopor dan Karjo membuat saya agak bingung karena tidak terlalu berpengaruh
terhadap cerita utama.
Hal lain yang menarik dari novel ini adalah kita
tidak hanya disuguhi cerita roman namun juga cerita tentang alam, terutama berbagai
jenis burung dan perilakunya. Awalnya saya kurang memperhatikan karena saya
kurang tertarik dengan burung, tapi penjelasan Atik mengenai citra dan jatidiri
(Innerlichkeit) ketika pengukuhan
sebagai doctor betul-betul membuat saya terhenyak. Bagian-bagian lucu
ditampilkan Romo Mangun sebagai ekspresi Teto yang dikatakan dalam hati,
seperti mati aku! Nah ini! atau dari percakapan pendek antar tokohnya.
Walaupun ditulis pada tahun 1979, saya merasa
novel ini dekat dengan kehidupan sekitar (mungkin karena mengambil latar di
Magelang) jadi menyenangkan untuk divisualisasikan dalam pikiran (ah betapa
menyenangkan bila kita bisa seperti Atik dan ayahnya, berjalan-jalan di alam
terbuka, mengamati burung-burung, menirukan suara mereka). Pesan-pesan Romo
begitu jelas namun tidak terkesan menggurui, yaitu agar kita bisa melihat
sesuatu dengan jernih, untuk bisa menemukan makna kehidupan kita sendiri. Saya
memberi lima bintang untuk Burung-Burung Manyar.
woaa, baru tau kalau ada yang lucu-lucu juga. nice repiu kak ^^
ReplyDeleteiya lucu-lucu kayak akyu..wkwkwk
Delete