Milea, Suara dari Dilan adalah buku ketiga dari
rangkaian buku Pidi Baiq, yang pertama Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1990,
dan kedua Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1991. Jujur, saya hanya membaca buku
pertama dan ketiga ini, dengan melewatkan buku kedua. Jadi maafkan jika review
ini kurang gimana gitu ya, cmiiw pls. Saya pribadi berterima kasih kepada kak
Tez yang sudah baik hati meminjamkan bukunya (yang baru kebeli tapi belum
dibaca) dan sebagai tanda terima kasih saya menulis review ini spesial for kak
Tez.
Yang menarik dari Milea ini adalah buku ini
dibuat berdasarkan keterangan dari Dilan, jadi kita akan disajikan cerita dari
sudut pandang lelaki (yeay!!! Saya jatuh cinta dengan Dilan di buku pertama dan
saya berharap bisa explore doi lebih jauh). Novel ini dimaksudkan untuk bisa
menjadi pelajaran buat mereka yang baca, bukan hanya sekedar soal asmara.
Milea, Suara dari Dilan dimulai dengan
menceritakan Dilan sejak kecil dan bagaimana Dilan tumbuh dan dididik dalam
keluarga yang baik dan menyenangkan.
Kalau ada anaknya yang
cemberut disebabkan karena ngambek oleh masalah yang sepele, biasanya dia akan
datang untuk duduk di sampingnya dan aku masih ingat dia pernah bicara :
“Tak ada yang selesai
dengan menangis,” katanya.
“Aku gak nangis,”
kujawab.
“Gak nangis, koq, ada
air matanya?”
“Gak tau,” kataku
langsung telungkup di atas sofa, sambil menghapus air mataku diam-diam. Kalau
gak salah aku masih TK waktu itu.
“Bunda! Air mata siapa
di pipi Dilan?” Ayah nanya ke Bunda dengan agak teriak karena si Bundanya
sedang ada di ruang tengah. “Gak boleh nitip-nitip gini.”
“Air matanya, laaahh!”
jawab Bunda
“Bukan katanya,” jawab
Ayah.
“Diaaaamm!” kataku
sambil terus telungkup.
Kemudian cerita berlanjut ke masa remaja Dilan.
Seperti remaja pada umumnya, Dilan mempunyai teman-teman kental yaitu Piyan,
Anhar, Burhan, Ivan, dan Akew. Saya seperti mengingat masa SMA saya, memang
untuk cowo-cowo yang punya banyak teman (baca : punya kelompok teman, atau
geng) pasti punya tempat tongkrongan, tidak beda dengan Dilan dkk yang suka
nongkrong di warung Bi Eem, atau di warung kopi Kang Ewok. Sebelum bertemu
dengan Milea, Susi lah yang pertama kali naksir Dilan, tapi Dilannya ga suka
sama doi :p Ini juga diceritain di buku pertama yang Dilan sampai ngumpet di
lemari pas disamperin Susi di rumahnya, hahaha. Dilan tahu Milea dari obrolan temennya
yang heboh karena ada cewe pindahan dari Jakarta.
Waktu itu, aku setuju
dengan yang lain bahwa Milea Adnan Hussain itu cantik, dan aku percaya ada hal
indah lagi dari apa yang bisa kulihat selain dari rambutnya yang panjang dan
tebal pirang alami. Sejauh yang aku tahu, dia selalu menampakkan dirinya dalam
cara yang baik, bahkan ketika sedang makan kupat tahu gak enak di kantin
sekolah.
Akhirnya tanggal 22 Desember 1990 Dilan dan
Milea resmi berpacaran. Sejauh yang saya baca, ternyata Dilan juga seperti
lelaki pada umumnya, logis, rasional, dan kadang egois (wah saya ga judging cowo seperti itu loh ya, piss).
Bahwa dalam berpacaran ada suka dukanya, ada cemburunya, ada marah-marahannya,
ya normal sih, semua juga begitu kali ya. Hanya Dilan, dengan karakternya, dia
bisa membawa suasana lebih ceria karena sense
of humor-nya dan tingkahnya yang kadang out
of the box (dan pasti kamu bakal jatuh cinta). Konflik mulai muncul ketika
kepentingan geng motor bentrok dengan Dilan-Milea, antara persahabatan dan
cinta.
Yang membedakan dengan buku pertama, di sini
lumayan banyak diceritakan Dilan pasca SMA bahkan hingga reuni. Menurut saya,
hal itu menarik karena mempresentasikan apa yang ada di pikiran Dilan.
Jauh
Apakah kamu rindu?
Aku di sini, Dilan.
Jauh. Jauh.
(Milea Adnan Hussain,
1991)
Apa yang Pidi Baiq inginkan agar pembaca dapat
mengambil pelajaran dari buku ini, saya rasa berhasil. Romantisme dan gentle-nya Dilan dalam memperlakukan
wanita jelas membuat Milea tak akan melupakannya seumur hidup (apalagi saya,
hahaha). Guys, you have to learn from
Dilan. Tapi Dilan juga hanyalah manusia biasa, di akhir buku, kalian akan
menemukan sesuatu yang benar-benar bisa diambil pelajaran (I mean it). Saya jamin kalian ga akan rugi membaca Milea, Suara
dari Dilan. Ringan, tapi bermakna. Saya memberi empat bintang untuk novel ini.
Yuhuuu reviewnya udah keren nih
ReplyDeleteSapa duu yg pinjemin bukunya...haha
Delete