Saya baru menyadari bahwa ada salah satu
gesture tubuh yang bisa memberikan sensasi tertentu, sebagai contoh cium
tangan. Di Indonesia, tepatnya di Jawa, cium tangan atau salim merupakan salah
satu kebiasaan yang dilakukan apabila akan berpamitan. Cium tangan ini juga
merupakan tanda hormat, patuh kepada yang dicium tangannya.
Saya tumbuh di keluarga yang tidak njawani,
apalagi islami. Kebiasaan cium tangan ini akan saya lakukan hanya apabila akan
pergi jauh dan lama. Selain itu, berpamitan kadang dilakukan lewat lisan atau
bahkan tidak dilakukan apalagi kalau hanya ke warung sebelah, hehe.
---------
Siang ini, Rafly menanyakan jam sambil membuka
pintu kamar saya.
“Jam berapa Te?”
“Jam satu.”
“Jam satu pas?”
Jam menunjukkan 12:55. Saya berkata,”Iya, jam
satu pas.”
Dia menutup lagi pintu kamar saya. Saya kembali
membaca novel detektif yang tinggal sedikit. Ini adalah novel kedua Agatha
Christie yang saya baca. Pertama Miss Maple, kedua ini Hercule Poirot. Agatha
Christie ini agaknya memang pintar membikin cerita. Novelnya hampir selesai pun
saya belum bisa menebak siapa pembunuhnya.
Rafly menanyakan jam lagi. Kali ini dia tidak
berpakaian singlet dan celana dalam lagi, melainkan sudah rapi dengan baju koko
dan pecinya.
“Jam berapa Te?”
“Jam dua.”
“Jam dua pas?”
Jam menunjukkan 13:55. Saya berkata, “Iya, kenapa?”
“Tolong anterin ke tempat ngaji Te.”
Hujan masih deras di luar sana. Saya agak
enggan mengantar hujan-hujan begini.
“Mbak kemana?”
“Ngga tau, ke rumah temen. Ada jas ujan Te.”
“Pake jas ujan Tante aja. Sebentar ada di jok
sepeda motor.”
Lalu saya bergegas memakai jaket dan jas hujan
kemudian mengeluarkan sepeda motor ke teras rumah. Rafly sudah langsung naik
ketika saya menstarter sepeda motor.
“Pi, pintunya tutup dulu. Kan rumah sepi ngga
ada orang.”
“Ngga usah Te, nanti telat.”
“Tutup dulu.”
Rafly turun lagi kemudian menutup pintu rumah.
Kemudian dia segera naik dan menutupi kepalanya dengan jas hujan yang saya
pakai. Terasa tangan kecilnya memegang erat pinggang saya agar tidak jatuh.
Sudah lama saya tidak membocengkan anak kecil. Rasanya aneh, namun
menyenangkan. Mungkin sense of mothering saya keluar :p
Jarak rumah dengan tempat ngaji tidaklah jauh,
sekitar satu kilometer. Tapi karena harus ditempuh dengan menyebrang jalan
besar dan ramai, saya rasa lebih aman mengantarkan dengan sepeda motor. Di
perjalanan kami menjumpai beberapa orang tua berjalan kaki mengantarkan anaknya
mengaji dengan memakai payung. Banyak orang berjualan jajan di depan tempat
ngaji Rafly. Hujan deras begini mereka saja masih semangat berjualan, pikir
saya.
Saya mengantarkan sampai pintu gerbang. Kemudian Rafly turun dari sepeda
motor. Saya ancang-ancang untuk mundur, tapi Rafly masih berdiri di samping
saya.
“Te..”
Saya menoleh.
Rafly menjulurkan tangannya untuk salim ke
saya. Saya menyambutnya. Ketika tangan kanan saya bersalaman dengan tangan
kecilnya itu saya merasakan sensasi itu lagi. Tenang, mendamaikan, sungguh
memancing rasa keibuan saya. Terselip doa dalam hati, belajarlah yang rajin
nak, semoga ilmu yang kamu dapatkan bisa membawamu kepada keberkahan hidup.
Saya rela kalau besok diminta mengantar jemput kamu lagi Dek, demi masa
depanmu.