Akhir pekan telah tiba, saatnya aku
bermalas-malasan dengan menghabiskan malam dengan hiburan-hiburan seperti film
maupun musik, atau buku. Seringnya hal terakhir yang aku sebut itu lebih tepat
untuk membuatku tertidur dengan cepat daripada membuat terjaga hingga pagi.
Malam larut ini kuhabiskan dengan menonton Norwegian Wood yang diadaptasi dari
novel Harumi Murakami yang telah kubaca beberapa waktu lalu. Film padat dengan
durasi dua jam lebih yang menyajikan setting Jepang tahun 60-an. Jam satu dini
hari aku tertidur, berharap bangun siang esoknya.
Sial, alarm 04:30 ini kencang sekali suaranya.
Aku mengutuk kebodohan pemilik smartphone yang menyeting alarm di hari Sabtu.
Aku mematikan alarm sekalian mengecek pesan di handphone. Ada pesan whatsapp
dari teman kantor tentang ibunya yang meninggal dini hari. Kubaca berkali-kali
memastikan bahwa aku sendiri cukup sadar dan terjaga untuk membaca pesan
tersebut. Lamat-lamat aku ingat obrolan di bus karyawan kemarin ketika Rini
langsung menuju rumah sakit untuk jaga. Ibunya masuk rumah sakit lagi. Aku
meneruskan pesan itu ke grup teman kantor kemudian meneruskan tidur. Tiga jam
tentu saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan waktu istirahatku. Sementara
pikiranku melayang ke masa lalu, mengenang kesedihan akan kehilangan.
-------
Rini sudah beberapa hari tidak masuk kerja.
Ternyata dia mengurus ibunya yang sakit di rumah sakit. Pekerjaan Rini yang aku
anggap vital, karena mengurus gaji orang-orang, agak terbengkalai. Hei, apapula
pekerjaan itu, kamu harus mementingkan keluargamu bukan? Aku bersama beberapa
teman kantor menjenguk ibunya di rumah sakit. Kami magriban dulu sebelum menuju
kamar ibunya. Kami menjumpai Rini yang tangisnya pecah ketika kami satu persatu
memeluknya, menguatkannya. Ibunya semalam masuk ke ICU karena tak sadarkan
diri. Ingatanku tentang Bapak seakan kembali melihat Rini menangis. Dia anak
pertama, sama sepertiku, hanya saja dia sudah menikah dan mempunyai seorang
putri yang cantik. Kami sama-sama mempunyai adik lelaki, yang lagi-lagi
perbedaannya adalah adiknya sudah menikah dan memiliki putra kembar. Rini masih
beruntung, pikirku.
Dua hari kemudian, Pak Bos mengajakku
menemaninya menjenguk ibunya RIni. Alhamdulillah, beliau sudah keluar dari ICU
dan berada di kamar VIP yang menurutku fasilitasnya sangat bagus. Tentu saja,
aku memilih sehat daripada sakit walau dirawat di kamar bagaikan hotel bintang
lima sekalipun. Aku melihat kondisi ibunya Rini, sungguh berbeda dengan
beberapa tahun yang lalu ketika beliau masih sehat, segar, dan awet muda. Kali
ini kondisi beliau semakin kurus, lemah, bahkan untuk memegang sesuatu beliau
membutuhkan bantuan orang lain. Anak-anak, menantu, cucu, dan suaminya
bergantian menjaganya di rumah sakit.
Beberapa hari kemudian Rini sudah masuk kerja.
Belakangan kondisi ibunya sudah membaik dan keluar dari rumah sakit.
---------
Sekitar jam 6 aku mencari teman untuk melayat
bersama. But I always end up alone.
Susah sekali mengandalkan orang lain, lebih baik dilakukan sendiri. Jam 8 aku
ke rumah Rini. Sebuah tenda tanpa hiasan terpasang tepat di depan rumah Rini.
Ada beberapa orang duduk di baris kursi yang mepet dengan tembok dinding
tetangga. Aku bersalaman dengan bapak-bapak teman kantorku dan
langsung mengarahkanku untuk masuk ke dalam rumah, karena juga ada teman kantor
wanita yang sudah di dalam. Saya disambut dengan pemandangan jenazah yang
melintang di tengah ruang tamu. Tamu wanita dan kerabat keluarga duduk merapat
ke dinding ruang tamu. Aku memeluk Rini yang memakai gamis gelap dan mengucap bela
sungkawa. Rini menangis, dan memintakan maaf jika almarhumah ada salah. Aku
hanya bisa bilang, “Yang tabah ya.” Aku tak berani bilang macam-macam karena
selain Rini lebih tua daripada aku, jika aku berada di posisinya sekarang, aku
tak ingin banyak diceramahi.
Aku memandang sekeliling. Ada beberapa wanita
berpakaian seragam guru, ada beberapa yang berpakaian hitam termasuk teman
kantorku. Aku mendengarkan obrolan Rini dengan tamunya. Aku kembali melihat
sekeliling. Hanya ada beberapa yang berdoa mendekati jenazah. Aku menanyakan
nama almarhumah ke Rini, dan membacakan beberapa doa dan surat di Al Quran,
berharap akan sampai kepada yang bersangkutan. Sesaat setelah selesai
membacakan doa, beberapa lelaki meminta kerabat wanita untuk mengikat kafan
jenazah. Pandanganku terhalang orang-orang yang mengelilingi jenazah. Kemudian
jenazah dibawa ke masjid untuk disholati. Umumnya pemakaman di kota asalku dilakukan
setelah dhuhur, di sini agak berbeda, lebih cepat lebih baik. Jadi aku menunggu
hingga pemakaman selesai. Setelah dilihat lagi, tidak ada papan informasi
tentang identitas jenazah di sekitar rumah. Kami duduk di luar sambil menunggu
jenazah selesai disholati. Jarak rumah Rini dengan pemakaman dan masjid hampir
sama jauhnya, yaitu sekitar 50 meter sehingga kami tidak repot-repot mengikuti
prosesi acaranya.
Ada beberapa perbedaan yang aku lihat dibandingkan
dengan pemakaman Bapak. Kami sekeluarga dulu diberi kesempatan terakhir untuk
melihat jenazah sebelum diangkat dan disholatkan. Aku masih ingat, aku berbisik
mohon maaf kepada Bapak. Sebuah permintaan maaf yang terlambat. Ibuku yang
menatap nanar dengan matanya merah sembab dengan suara serak bergetar dan
adikku yang aku lupa dimana dia waktu itu, mungkin sedang di luar membantu
pemberangkatan jenazah. Ada sambutan ketua RW, RT, dan perwakilan keluarga
sebelum jenazah diberangkatkan. Ibuku meraung hampir pingsan ketika jenazah
dibawa pergi. Setengah mati aku menahan tangis sambil menahan, membimbing Ibu
untuk tetap sadar waktu itu. Terlalu banyak menangis bisa membuat kalian
pusing, selain mata dan hidung perih, percayalah, itulah yang kami rasakan.
Kami ikut mengiringi jenazah ke makam. Aku baru
tahu bahwa ada urutan untuk proses penguburan. Setelah liang digali, jenazah
diangkat dan dimasukkan ke liang lahat, dengan tiga orang bersiap di dalamnya.
Jenazah dimiringkan dengan diganjal (aku tidak tahu persis) dengan beberapa
bulatan tanah. Kemudian ditutup dengan kayu dan tikar, baru dipenuhi dengan
tanah kembali. Jenazah diadzani sebelum ditutup dengan tikar/ kayu. Setelah
semuanya selesai, seorang imam memimpin doa untuk jenazah. Hei, saya perlu belajar
tentang ini, atau bukan hanya aku saja, kita semua perlu belajar tentang ini. Ketika
aku tanya hal ini ke temanku sore harinya, dia bilang dia pernah diajari prosesi
ini pas SMA. Aku tak ingat sama sekali.
Aku melihat dari jauh Rini mengelus punggung
adiknya yang menangis, saling menguatkan. Aku dulu tak ikut ke pemakaman Bapak,
karena kondisi Ibuku yang seperti itu. Satu hal yang aku sesalkan ketika
pemakaman almarhumah ibu Rini adalah adanya suara musik dangdut yang volumenya
seperti layaknya ada orang punya hajat. Padahal tadi sudah ada pengumuman dari
masjid jika ada yang meninggal, mungkin orang punya hajat itu tak
memperhatikan. Sebuah pemandangan yang aneh, orang-orang di makam mengangkat
tangannya untuk berdoa dengan latar suara dangdutan.
Satu persatu orang kembali ke rumah Rini. Aku
bersama teman kantor masih mengiringi Rini dalam perjalanan pulang ke rumah,
untuk kemudian pamit. Rasa kehilangan itu baru terasa setelah meninggalkan
pemakaman. Apalagi ketika hari menjelang malam, terasa sekali betapa ada yang
hilang di sekitar kita, di dalam diri kita. Lebih-lebih esoknya ketika hari tak
lagi seperti biasanya. Bagusnya cara Jawa, yang ditinggalkan akan disibukkan
dengan acara tujuh harian. Tapi itu juga tak akan membantu menghilangkan
kesedihan, hanya menyamarkan saja. Yang penting bagi yang hidup adalah
keputusan diri sendiri untuk menerima dan melanjutkan waktu yang tersisa dengan
sebaik-baiknya. Melalui kehilangan, Tuhan mengingatkan kita. Melalui
kehilangan, kita belajar banyak hal.