Saturday, December 3, 2016

[Story] Cium Tangan



Saya baru menyadari bahwa ada salah satu gesture tubuh yang bisa memberikan sensasi tertentu, sebagai contoh cium tangan. Di Indonesia, tepatnya di Jawa, cium tangan atau salim merupakan salah satu kebiasaan yang dilakukan apabila akan berpamitan. Cium tangan ini juga merupakan tanda hormat, patuh kepada yang dicium tangannya. 

Saya tumbuh di keluarga yang tidak njawani, apalagi islami. Kebiasaan cium tangan ini akan saya lakukan hanya apabila akan pergi jauh dan lama. Selain itu, berpamitan kadang dilakukan lewat lisan atau bahkan tidak dilakukan apalagi kalau hanya ke warung sebelah, hehe. 

---------

Siang ini, Rafly menanyakan jam sambil membuka pintu kamar saya.

“Jam berapa Te?”
“Jam satu.”
“Jam satu pas?”
Jam menunjukkan 12:55. Saya berkata,”Iya, jam satu pas.”

Dia menutup lagi pintu kamar saya. Saya kembali membaca novel detektif yang tinggal sedikit. Ini adalah novel kedua Agatha Christie yang saya baca. Pertama Miss Maple, kedua ini Hercule Poirot. Agatha Christie ini agaknya memang pintar membikin cerita. Novelnya hampir selesai pun saya belum bisa menebak siapa pembunuhnya. 

Rafly menanyakan jam lagi. Kali ini dia tidak berpakaian singlet dan celana dalam lagi, melainkan sudah rapi dengan baju koko dan pecinya.

“Jam berapa Te?”
“Jam dua.”
“Jam dua pas?”
Jam menunjukkan 13:55. Saya berkata, “Iya, kenapa?”
“Tolong anterin ke tempat ngaji Te.”

Hujan masih deras di luar sana. Saya agak enggan mengantar hujan-hujan begini.

“Mbak kemana?”
“Ngga tau, ke rumah temen. Ada jas ujan Te.”
“Pake jas ujan Tante aja. Sebentar ada di jok sepeda motor.”

Lalu saya bergegas memakai jaket dan jas hujan kemudian mengeluarkan sepeda motor ke teras rumah. Rafly sudah langsung naik ketika saya menstarter sepeda motor. 

“Pi, pintunya tutup dulu. Kan rumah sepi ngga ada orang.”
“Ngga usah Te, nanti telat.”
“Tutup dulu.”

Rafly turun lagi kemudian menutup pintu rumah. Kemudian dia segera naik dan menutupi kepalanya dengan jas hujan yang saya pakai. Terasa tangan kecilnya memegang erat pinggang saya agar tidak jatuh. Sudah lama saya tidak membocengkan anak kecil. Rasanya aneh, namun menyenangkan. Mungkin sense of mothering saya keluar :p

Jarak rumah dengan tempat ngaji tidaklah jauh, sekitar satu kilometer. Tapi karena harus ditempuh dengan menyebrang jalan besar dan ramai, saya rasa lebih aman mengantarkan dengan sepeda motor. Di perjalanan kami menjumpai beberapa orang tua berjalan kaki mengantarkan anaknya mengaji dengan memakai payung. Banyak orang berjualan jajan di depan tempat ngaji Rafly. Hujan deras begini mereka saja masih semangat berjualan, pikir saya. 

Saya mengantarkan sampai pintu gerbang. Kemudian Rafly turun dari sepeda motor. Saya ancang-ancang untuk mundur, tapi Rafly masih berdiri di samping saya.

“Te..”

Saya menoleh.

Rafly menjulurkan tangannya untuk salim ke saya. Saya menyambutnya. Ketika tangan kanan saya bersalaman dengan tangan kecilnya itu saya merasakan sensasi itu lagi. Tenang, mendamaikan, sungguh memancing rasa keibuan saya. Terselip doa dalam hati, belajarlah yang rajin nak, semoga ilmu yang kamu dapatkan bisa membawamu kepada keberkahan hidup. 

Saya rela kalau besok diminta mengantar jemput kamu lagi Dek, demi masa depanmu.