Monday, August 29, 2016

Obrolan Jumat Sore


Ini adalah obrolan coro di hari Jumat sore kemarin bersama Pak Bos dalam perjalanan menuju tempat proyek :
 
A             : Saya ga ngerti kenapa orang-orang mau repot bikin karnaval buat memperingati 17-an. Beberapa kali saya lihat karnaval di kota maupun di pinggiran dengan kostum-kostum aneh tapi beberapa ngga nyambung dengan 17-an itu sendiri. Bahkan ada yang berkostum tuyul, iya tuyul dengan celana yang diberi pampers tebal dan berjoget-joget ditengah hingar bingar musik di bawah terik panas matahari. Maksudnya apa gitu loh? Ngapain?

B             : (sambil ketawa) Ya cara dalam merayakan sesuatu itu berbeda masing-masing orang. Bagi mereka, ikut karnaval dengan pakaian yang aneh-aneh itu wajar untuk mereka. Mereka have fun kok dengan segala sesuatu yang kamu bilang merepotkan.

A             : Ya tapi kan ga nyambung. Buat apa coba? Bukan dengan cara begitu mereka memaknai pentingnya kemerdekaan. Saya ga habis pikir dengan orang-orang itu.

B             : Bagi mereka, dengan ikut-ikutan karnaval, kemerdekaan menjadi lebih bermakna.

A             : (heran, setengah tidak percaya) Bermakna dari segi mana? Menurut saya itu meaningless.
Saya mengeluarkan novel dari tas saya, Pak Bos melirik buku saya.

B             : Begini nak, cara orang menjalani kehidupannya itu berbeda, lihat saja orang-orang proyekan itu, kalau melihat kamu sedang asik baca buku, itu aneh buat mereka. Bukan hanya aneh, mungkin meaningless seperti apa yang kamu bilang tadi. Maaf bukan berarti membaca buku itu tidak penting, kita tahu itu penting, tapi apa mereka peduli dengan hal itu? Mana sempet mereka baca buku? Baca koran saja sudah bagus.

A melihat keluar kaca mobil, memandang orang-orang yang sibuk bekerja membuat bangunan. 

Hening.

Obrolan Minggu Sore



Ini juga obrolan coro antar dua teman yang mencintai hal yang sama.

A             : (berkaca-kaca) Orang-orang Proyek bagus kak. Baru beberapa halaman aku sudah merasa cocok. Bagaikan oase di tengah kesemrawutan pikiran.

T              : Alhamdulillah kalo udah nemu buku bagus lagi kak. Gimana? Sampe mana?

A             : Separo. Belum ada konflik riil, baru konflik batin. Kayaknya jaman Soeharto benar-benar menjadi inspirasi banyak penulis besar ya

T              : Iya

A          : Aku jadi mikir kalo tidak ada “kesusahan”, apalagi yang bisa dijadikan inspirasi oleh penulis-penulis itu.

T              : Ahmad Tohari bisa menangkapnya dengan pas.

A             : Betul. Celakanya sampai sekarang pun bentuk2 keserakahan itu masih ada. 

T              : Sampai nanti pun mungkin masih ada

A             : Itu sesuatu yang melekat pada manusia. 

T              : Eh kenapa tadi sampe berkaca-kaca? 

A             : Mewakili beberapa pemikiran selama ini, dan doi bisa menuangkan dalam kata-kata.

T              : Serasa nyes bacanya?

A             : Huum. Aku mikir yang aneh-aneh ya?

T              : This is life. Semua manusia mungkin punya pikiran yang sama kak.

A             : Oh ya? Kukira hanya beberapa orang saja

T              : Tapi mungkin tertutup oleh nafsu, kehendak, atau apa saja. Dan banyak yang mungkin tak mau berpikir.

A             : Oh, but it doesn’t mean aku ga punya nafsu, kehendak, atau apa saja kan ya. Ya mungkin mereka terlalu sibuk melakukan yang lain.

T              : Iya, tapi bagaimana seseorang akan memilih sesuatu untuk menjadi dominan

A             : Nah ini balik ke obrolan sama atasan kemarin Jumat. I feel weird to have those words.

T              : Bisa jadi seperti yang kita bahas kemarin, kaya orang anggep aneh orang yang suka baca. Bisa jadi orang itu pernah baca tapi ya gak suka atau gimana terhadap buku. Esensinya balik lagi pada apa yang manusia pilih untuk hidup. Tapi ya masih banyak orang yang menilai aneh pada hal-hal gak penting bagi mereka.

A           : Mungkin mereka gumunan. Kamu serius sekali kak? Kelihatan defense-nya. Mengingatkan kita ternyata masih manusia. 

T              : Manusia butuh bahagia tapi ada manusia yang ngga pingin manusia lain bahagia.

A             : Ngurusin banget sih, sampe kepingin orang lain ga bahagia. Penyakit hati itu kak.

T              : tapi masih banyak orang-orang seperti itu 

A             : Nggo genep2e ndunyo kak

T              : (tertawa) 

A            : Aku jadi ga bisa bayangin surga, pasti boring ya isinya orang baik semua. Is it really exist?

T              : Aku sih bukan mikirinya antara ada dan tiada sih kak. Tapi lebih ke sebagai harapan.

A             : Harapan dengan surga? I don’t get it

T              : Jadi gini, ketika kita melihat seseorang sudah baik tapi hidupnya menderita entah karena keadaan atau karena orang lain. Ada harapan Tuhan akan membalasnya dengan surga.

A             : Hmm..oke, terus?

T            : Karena keseimbangan itu, aku suka ketika Tuhan menciptakan adanya “balasan”. Yang baik akan mendapat pahala yang jahat akan mendapat dosa. Sebenarnya mungkin lebih kepada dominasi iman/ kepercayaan sih kak. Tapi aku lihat ini konsep yang terbaik.

A             : Sebentar. Aku menanyakan surga dalam dimensi ruang kak, yang konon isinya makhluk yang beramal baik. Tapi mungkin kakak tidak mengakui surga dalam bentuk dimensi ruang setelah kematian.

T              : Maksudnya? Dimensi ruang dalam bentuk tempatnya? Itu menurutku mungkin kalua kita berpikir dalam konteks sebagai manusia sih. Karena ya bentuk surga sendiri belum kita rasakan.

A             : Ah, aku hanya minta pendapatmu, boring ga kalo suatu tempat isinya orang2 baik semua.

T              : Maksudku mungkin kalo dibuat sederhananya kita belum tau misalkan mau pergi ke suatu tempat yang belum pernah kesana. Kita belum tahu setelah disana apakah akan suka atau malah ga suka. Jadi ketika ditanya boring ngga, akan sulit untuk menjawabknya karena belum pernah merasakan kehidupan di sana.

A             : Tadi kamu bahas tentang keseimbangan dan Tuhan. Ini konsep purba kan y? aku menanyakannya karena tentu saja teori Tuhan itu ada setelah keseimbangan sudah berjalan sebagaimana mestinya. Tuhan, peace, saya percaya Tuhan itu ada koq.

T              : Tapi kembali ke pemikiran orang-orang sih kak. Imho ngga bisa semua orang memiliki konsep yang sama dalam pemikiran. Karena itu mungkin bisa lahir diskusi, debat, dialog, atau apapun.

A             : Tentunya kak, dari diskusi itulah kita bisa menguji apa yang kita pikirkan dan mendapat kebenaran.

T              : Ya namanya juga antara mencari kebenaran atau malah pembenaran?

A             : Ah, itu saya juga ragu, tergantung keterbukaan kita akan menerima sesuatu.

T             : Itu kadang kalau orang udah nyebelin, pembenaran pun dilakukan dengan berbagai cara. Aku takutnya ketika orang sudah manipulatif dengan kebenaran. Apa-apa yang dia yakini itu benar. Padahal manusia selalu berusaha mencari.

Vertebrae (The Maslow) Tigapagi



Bodohnya saya baru menyadari ada lirik sekuat ini, music menghanyutkan seperti ini, keindahan instrument-intrument yang mengantarkan harmonisasi dengan liriknya.
Lihat saja lirik Vertebrae (The Maslow) ini :

You taught me well, but it is unnecessary
You carved me well, but it’s just a misery
Humanity, humanity,
You just won’t believe such a thing anymore

I’m living being and you are living being
There’s a curse and grace for this spinal chord
Maybe I could sing when you couldn’t think
So this question should be in my final chord

Let me ask you, why do we need love anyway?
If in the end it’s all about feeding, breeding, and protecting
Instinctively, naturally we don’t need humanity

Saya  tidak menemukan humanity dalam teeri Maslow (cmiiw). Sekedar mengingatkan, teori Maslow dari piramida bawah ke atas : kebutuhan fisiologi, rasa aman, kasih sayang, penghargaan, terakhir adalah aktualisasi diri. Cukup satu lirik ini, untuk dipikirkan dalam waktu-waktu tidak sibuk Anda.